kemaksiatan yang membuat seseorang merasa hina dihadapan tuhan-Nya kemudian ia bertobat dan merasa butuh kepada tuhan-Nya(iftiqor ila Allah), lebih baik dibandingkan ketaatan yang menyebabkan ia sombong dan jauh dari tuhan-Nya.
Jika kita permudah kalam hikmah di atas, mungkin kita boleh
memahaminya dengan cara yang sebegini;
Bagi seorang mukmin yang beriman dan punya makrifat dengan Allah,
jika mereka mengerjakan maksiat, mereka tidak melakukannya
melainkan kerana terlalai atau tanpa sengaja untuk mendurhakai
Allah. Hal ini jauh bedanya dengan ahli-ahli ghoflah dan ahli al-hijab
yang secara terang-terangan mengerjakan maksiat dan dosa hingga kadang ada di antara mereka
yang merasa senang dan berbangga karena dapat berbuat maksiat.
Orang mukmin yang beriman bukan begitu. Mereka terjatuh dalam
kesalahan; dan amat menyesali dengan keadaan itu. Maksiat itu
menyedarkan mereka betapa lemahnya diri, betapa dholimnya diri dan
betapa hinanya diri. Walaupun kedudukan dirinya mulia di sisi
manusia atau dirasakan dekat dengan Allah sebelum itu, dengan amal
taat yang banyak, dengan kebajikan yang melimpah, namun sekali
mereka terjatuh di dalam dosa, mereka sadar semua amal taat
dan kebaikan yang dikerjakan itu tidak bisa membentengi mereka dari terjerumus ke dalam maksiat.
Timbullah rasa hina dan iftiqor diri yang tidak pernah dirasakan selama waktu
ia mengerjakan amal taat sebelumnya. Memang lumrahnya, jarang
sekali seseorang yang senantiasa berada dalam amal-taat tidak merasa dirinya
baik dan mulia di sisi Allah, karena ia merasa dirinya sosok yang ahli taat.
Mereka merasa aman dan selamat bila memandang kepada amal kebajikan yang telah dilakukannya, mereka merasa dekat dengan Tuhan-Nya yang
mana semua rasa-rasa dan kecenderungan ini semuanya tanpa disadari telah mengembang-biakkan
sifat ego dan keangkuhan diri.
Tetapi maksiat yang mengenai hamba yang sadar diri, akan menyentak
lamunan mereka, dan mereka tetap merasa hina dan dholim di sisi Allah sebagai seorang
hamba yang lemah. nurani mereka akan meronta untuk segera bangkit dan kembali menghadap kepada Allah. Hal
ini adalah jauh lebih baik bila dibandingkan dengan ahli taat yang sentiasa memakai
pakaian kemuliaan dan kebesaran karena merasa dirinya punya kebaikan dan kelebihan
dengan amal taatnya.
Maka maksiat yang menimbulkan rasa hina dan iftiqor itu terlebih baik
daripada taat yang mewariskan rasa mulia dan kebesaran diri. Ini semua
adalah, karena seseorang yang merasa dirinya hina dan dholim dihadapan Allah, sesungguhnya ia adalah seseorang
yang telah kembali kepada sifat Ubudiyah sebagai seorang hamba; tidak
sebagaimna ahli taat yang seringkali mendakwa sifat-sifat Ketuhanan(Rububiyah)
seperti merasa baik, mulia, tinggi kedudukan, hebat diri dsb.
Dengan demikian, perlu ditegaskan di sini, yang terpuji
dalam maksiat itu ialah maksiat yang menimbulkan rasa hina dan iftiqor yang menyebabkan seseorang bertobat dan kembali kepada Allah swt, bukan maksiat yang dilakukan oleh ahli maksiat yang hanyut dan
angkuh dengan kesombongan dirinya yang jahil terhijab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar