Rabu, 30 Mei 2012

Tarbiyatul Al-qulub



 Bagaimana cara kita membersihkan hati kita sehingga menimbulkan dorongan yang kuat untuk melakukan kebaikan?
 Untuk menjawab pertanyaan diatas manusia menggunakan sistem yang namanya tarbiyah(pendidikan). Berbagai macam cara mendidik telah diterapkan namun tujuannya hanya satu, yaitu menundukkan ego dan perasaan terhadap petunjuk akal.
 Sebab semua tahu bahwa jika yang terjadi adalah sebaliknya(akal tunduk terhadap perasaan dan ego) maka kerusakan dan kehancuranlah yang akan terjadi. Untuk itu, perlu kita ketahui bahwa hatilah yang memegang kendali dalam kehidupan manusia sedangkan akal hanya sebatas lampu yang menerangi perjalanannya.
 Jika hati sudah dipenuhi dengan berbagai macam keinginan duniawi ditambah iri hati terhadap orang lain, maka masih adakah ruang untuk ditempati perasaan cinta kepada Allah? bahkan akal kadang kala diperalat untuk menggapai syahwat yang menggebu dalam hati. Untuk hati yang seperti ini kita perlu mengetahui bahwa faktor utama yang menyebabkan kotornya hati adalah bertambahnya titik hitam pada hati(dosa)
 Seorang manusia setiap kali berbuat dosa maka satu titik hitam akan menempel sebagai noda dihati. Jika dia segera bertaubat maka titik hitam tadi akan terhapus. Namun jika terus menerus dibiarkan  maka bukan tidak mnugkin hati akan dipenuhi oleh titik hitam yang mengakibatkan kerasnya hati.
 Andai menghapus titik hitam pada hati sama dengan menghapus tulisan yang ada pada papan tulis pastilah sangat mudah bagi kita  untuk menghapusnya, tetapi untuk membersihkan hati dibutuhkan terapi secara bertahap.
 Langkah pertama ialah dengan bertaubat dari semua dosa yang kita lakukan dan menjahui segala perkara haram. Kita tumbuhkan rasa penghambaan kita kepada Allah setiap kali kita terjatuh pada jurang dosa.
 Perasaan penghambaan itu akan membuat kita malu terhadap diri kita sendiri. Semua nikmat yang kita rasakan bahkan bergelimang didalamnya, semua itu dari Allah, lantas kita gunakan untuk berbuat maksiat dan melanggar larangan-Nya. Selama kita masih mempunyai perasaan, kita akan merasa malu akan hal itu.
 Jika langkah pertama ini sudah bisa kita lewati, selanjutnya kita melangkah pada fase berikuttnya, yaitu dengan memperbanyak melakukan kesunahan serta mengingat Allah dalam aktivitas kita. Jika memang langkah ini bisa kita lalui dengan baik maka syahwat duniawi yang tadinya menghalangi kita dari menghadap Allah sedikit demi sedikit akan menghilang hingga pada akhirnya kita siap untuk melanjutkan pada tahap selanjutnya.
 Langkah selanjutnya merupakan buah dari langkah sebelumnya, yaitu tumbuhnya rasa cinta kepada Allah sang pemberi nikmat kepada kita. Kemudian rasa cinta ini akan terus tumbuh dengan baik jika kita rawat dan kita siram dengan memperbanyak mengingat-Nya.
 Cara paling ampuh untuk menjaga dan merawat rasa cinta kepada Allah adalah dengan selalu menghubungkan semua kenikmatan kepada-Nya.
 Nah jika hati sudah merasakan cinta kepada-Nya, maka semua hal indah yang dilihat mata , dirasakan oleh hidung dan didengar oleh telinga lalu sampai kehati, semua itu akan ditanggapi oleh hati sebagai pesan indah dari Allah SWT.
 Selamat mencoba...   Semoga Allah berkenan untuk memberi petunjuk kepada kita semua sehingga hati kita akan terbuka dan selalu mengingat-Nya....

Minggu, 27 Mei 2012

Bermaksiatlah sesukamu.......

 kemaksiatan yang membuat seseorang merasa hina dihadapan tuhan-Nya kemudian ia bertobat dan merasa butuh kepada tuhan-Nya(iftiqor ila Allah), lebih baik dibandingkan ketaatan yang menyebabkan ia sombong dan jauh dari tuhan-Nya.

   Jika kita permudah kalam hikmah di atas,  mungkin kita boleh memahaminya  dengan cara yang sebegini;
Bagi seorang mukmin yang beriman dan punya makrifat dengan Allah,  jika mereka  mengerjakan maksiat,  mereka tidak melakukannya melainkan  kerana terlalai atau tanpa sengaja untuk mendurhakai Allah.  Hal ini jauh bedanya dengan ahli-ahli ghoflah dan ahli al-hijab yang secara terang-terangan mengerjakan maksiat dan dosa hingga kadang ada di antara mereka yang merasa senang dan berbangga karena dapat berbuat maksiat.
   Orang mukmin yang beriman bukan begitu.  Mereka terjatuh dalam kesalahan;  dan amat menyesali dengan keadaan itu.  Maksiat itu menyedarkan mereka betapa lemahnya diri,  betapa dholimnya diri dan betapa hinanya diri.   Walaupun kedudukan dirinya mulia di sisi manusia atau dirasakan dekat dengan Allah sebelum itu,  dengan amal taat yang banyak,  dengan kebajikan yang melimpah,  namun sekali mereka terjatuh di dalam dosa,  mereka sadar semua amal taat dan kebaikan yang dikerjakan itu tidak bisa membentengi mereka  dari terjerumus ke dalam maksiat.
   Timbullah rasa hina dan iftiqor diri yang tidak pernah dirasakan selama waktu ia mengerjakan amal taat sebelumnya.  Memang lumrahnya,  jarang sekali seseorang yang senantiasa berada dalam amal-taat tidak merasa dirinya baik dan mulia di sisi Allah, karena ia merasa dirinya sosok yang ahli taat.  Mereka merasa aman dan selamat bila memandang kepada amal kebajikan yang telah dilakukannya,   mereka merasa dekat  dengan Tuhan-Nya yang mana semua rasa-rasa dan kecenderungan ini semuanya tanpa disadari telah mengembang-biakkan sifat ego dan keangkuhan diri.
   Tetapi maksiat yang mengenai hamba yang sadar diri,  akan menyentak lamunan mereka, dan mereka tetap merasa hina dan dholim  di sisi Allah sebagai seorang hamba yang lemah.  nurani mereka akan meronta untuk segera bangkit dan kembali menghadap kepada Allah.  Hal ini adalah jauh lebih baik bila dibandingkan dengan ahli taat yang sentiasa memakai pakaian kemuliaan dan kebesaran karena merasa dirinya punya kebaikan dan kelebihan dengan amal taatnya.
   Maka maksiat yang menimbulkan rasa hina dan iftiqor itu terlebih baik daripada taat yang mewariskan rasa mulia dan kebesaran diri.  Ini semua adalah, karena seseorang yang merasa dirinya hina dan dholim dihadapan Allah, sesungguhnya ia adalah seseorang yang telah kembali kepada sifat Ubudiyah sebagai seorang hamba;   tidak sebagaimna ahli taat yang seringkali mendakwa sifat-sifat Ketuhanan(Rububiyah) seperti merasa baik,  mulia,  tinggi kedudukan,  hebat diri dsb.
Dengan demikian,  perlu ditegaskan di sini,  yang terpuji dalam maksiat itu ialah maksiat yang menimbulkan rasa hina dan iftiqor yang menyebabkan seseorang bertobat dan kembali kepada Allah swt,  bukan  maksiat yang dilakukan oleh ahli maksiat yang hanyut dan angkuh dengan kesombongan dirinya yang jahil terhijab.